[ Beranda - Galeri - Facebook - E-mail - Pimpinan - Mars & Lagu - Banner - Berkontribusi ]

Tuesday, November 15, 2005

LEBARAN PARADOKS

LEBARAN PARADOKS
Cahyo Budiman


Purna sudah pagelaran kolosal lebaran tahun ini yang digelar masyarakat
bangsa ini dengan penuh warna warni. Perayaan lebaran menjadi sebuah proses
kultural tersendiri yang menarik di tengah kehidupan masyarakat karena
disertai tradisi-tradisi unik di negeri ini. Dan secara kultural, rasanya
tidak ada yang berbeda lebaran tahun ini dengan lebaran tahun lalu, tetap
penuh dengan romantika tradisi mudik, bermaafan, nyekar, dan lain
sebagainya.

Menjadi menarik ketika mencermati perayaan lebaran tahun ini dari sudut
sosial yang berbeda. Barangkali, tahun inilah masyarakat merayakan lebaran
di tengah suasana terjalnya perekonomian bangsa. Dipicu oleh kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM) di awal Ramadhan, maka perjalanan menuju lebaran
terasa kian berat. Maka ragam warna pun muncul di tengah proses menuju hari
kemenangan, yang ragam itu tiada lain derivasi dari satu hal : kenaikan
harga BBM. Sikap anarkis masyarakat yang mewarnai penyaluran bantuan
langsung tunai (BLT) kompensasi kenaikan harga BBM, demonstrasi yang muncul
(nyaris) setiap hari, hingga melunjaknya inflasi bulan Oktober yang menembus
rekor tertinggi inflasi year on year selama 4 tahun terakhir, adalah
beberapa bagian dari sekian banyak deriviasi masalah tersebut. Yang terakhir
disebutkan, oleh ketua Badan Pusat Statistika, dipicu oleh kenaikan harga
BBM yang menyumabng hampir 4% dari angka inflasi yang muncul.

Akan tetapi, lebaran tetaplah lebaran. Gunungan masalah yang menyertai
perjalanan menuju lebaran sepertinya sirna melihat fakta sosial perayaan
hari kemenangan umat Islam tersebut. Jangan heran melihat pusat-pusat
perbelanjaan tetap ramai dikunjungi masyarakat, terminal-terminal bus
dibanjiri ribuan pemudik, serta berbagai kondisi sosial khas lebaran lainnya
tetap muncul meski di tengah himpitan masalah tersebut. Kondisi tersebut
seolah membumihanguskan pendapat banyak kalangan yang menilai tekanan
ekonomi akibat kenaikan BBM akan membuat masyarakat merayakan lebaran dengan
penuh keprihatinan. Rasanya, tidak semuanya benar. Lebaran berjalan seolah
tanpa masalah.

Paradoks Fitri
Dengan berbagai fakta sosial tersebut, tepat lah jika kemudian lebaran tahun
ini menjadi sebuah perayaan yang penuh dengan paradoks. Pola konsumerisme
’sejati’ tetap muncul di tengah tingginya harga-harga barang konsumen.
Sepuluh hari terkahir Ramadhan tetap saja tidak diwarnai ’pergerakan masa’
ke masjid-masjid untuk i’tikaf, akan tetapi mobilisasi tetap mengarah ke
pusat-pusat perbelanjaan.

Lebaran (seperti biasanya) dirayakan sebagai sebuah kolosal tradisi sosial,
bukan sebuah moment relijius yang secara monumental dijadikan sebagai ajang
untuk melepaskan diri dari dosa-dosa sebelumnya. Kembali ke fitri, tidak
lagi diterjemahkan sebagai kembali pada level manusia yang suci (fitri)
setelah berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, akan tetapi lebih
dimaknakan sebagai kembali ke fitrah manusia saat lebaran (merujuk pada
tradisi), yaitu konsumerisme!.

Wajarlah jika kemudian pusat-pusat perbelanjaan lebih dipilih di bandingkan
dengan masjid-masjid. Dan wajar pulalah (tanpa bermaksud bersu’udzon) jika
pelaksanaan salat I’ed selalu dan selalu mebludak, rasanya ada sesuatu yang
lain di tengah niat para jamaah salat tahunan tersebut. Seorang rekan saya
bahkan beranekdot untuk membagi pelaksanaan shaat I’ed menjadi dua gelombang
setiap tahunnya. Ritual ibadah Shalat I’ed pun setiap tahunnya menjadi
ajang monumental bagi masyarakat dalam mengekspresikan makna kemenangan
tersebut dalam aspek sosiologis (tradisi). Tradisi bersalaman setelah
shalat, tradisi menggunakan baju baru, tradisi sarung dan peci baru, tradisi
bertemu dan berbincang dengan rekan dan berbicara kesuksesan masing-masing,
dan lain sebagainya.

Paradoks Hidup Sederhana

Yang menarik lainnya adalah tekanan kondisi ekonomi masyarakat menjelang
Ramadhan yang (setidaknya) secara ’naluri’ menggiring masyarakat untuk
menekan aspek hedonisme-nya saat lebaran, seoalah menguap entah kemana.
Sejanak mengamati tradisi lebaran akan meleburkan berbagai asumsi dan
argumen tentang kemiskinan masyarakat bangsa ini.

Selama ini, ajakan berbagai pihak untuk hidup secara sederhana tidak tepat
jika ditunjukkan kepada masyarakat kita. Karena relaitas sosial menunjukkan
bahwa masyarakat kita sedang (dan sudah) hidup di bawah standar hidup
sederhana. Bahkan, jauh pula berada di bawah standar kemiskinan. Maka, wajar
jika kemudian pemerintah seolah kerepotan menetapkan standar miskin untuk
masyarakat yang berhak menerima BLT. dan ternyata pula, standar itu tidak
tepat, karena (sangat) banyak masyarakat yang berada di atas standar
ternyata secara riil mereka tergolong tidak mampu.

Akan tetapi, fenomena tersebut semua sirna. Demarkasi kemiskinan yang selama
ini seolah sangat tebal dalam realitas kehidupan masyarakt diterjang habis
oleh suatu kultur temurun saat merayakan lebaran. Sifat konsumerisme menjadi
’ikatan sosial’ antara berbagai lapisan tersebut. Kaya, miskin, tua dan
muda, membungkus dirinya dari ’renda-renda’ produk-produk konsumtif sembari
mengaburkan nilai I’edul Fitri. Rasanya, lebih tepat jika ajakan sederhana
tersebut di tujukkan untuk tradisi berlebaran tersebut.

Menggeser Paradigma
Lepas dari itu semua, tentu kita menyadari akan ’euforia’ masyarakat tentang
makna sebuah lebaran. Mungkin, di situ pula lah mereka mengekspresikan
’penghargaan’ setinggi-tingginya terhadap hari fitri tersebut. Sehingga
bukan sebuah halangan bagi mereka himpitan ekonomi untuk tetap merayakan
lebaran dengan penuh suka cita dan tradisi konsumeris dan hedonis nya.

Akan tetapi, rasanya sejenak kita patut bercermin diri dalam kondisi carut
marut bangsa ini. Bukan berarti kita kemudian bergeser untuk bersikap
’memiskinkan’ bangsa ini, akan tetapi mencoba untuk bersikap sesuai dengan
kondisi. Makna ’sesuai’ disini memiliki spektrum yang luas, sesuai dengan
hakikat lebaran itu sendiri, sesuai dengan kondisi masyarakat, dan sesuai
dengan niatan yang bersih. Lebaran tidak lagi dimaknakan sebagai event
kembali ke tradisi konsumerisme, tidak lagi diekspresikan dengan
bermegah-megahan dan bermewah-mewahan, juga tidak lagi dirayakan dalam
kerangkan ’pertunjukan diri’ dengan sesama.

Tahun ini seyogyanya menjadi momen bagi kita semua untuk menggeser paradigma
lebaran yang kini sudah mendarah daging pada kita semua. Berbagai timbunan
masalah yang menghimpit kehidupan masyarakat setidaknya menyadarkan
masyarakat untuk menjadikan I’edul fitri sebagai tonggak perubahan dan
perbaikan kondisi. Tekanan ekonomi yang ditandai membumbungnya angka inflasi
seharusnya menggiring kita untuk mengurangi ’kecintaan dunia yang
berlebihan’ saat merayakan lebaran. Sehingga, lebaran tidak terus menerus
penuh dengan paradoks, tapi menjadi lebaran yang penuh dengan makna.
Semoga...

No comments: