PERAN IBU DALAM MENGATASI KRISIS BANGSA*
Oleh: Marwani**
Pendahuluan
Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan kongres Perempuan pada tahun 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 (deretan nama Beliau ada di hal. akhir makalah ini). Pada tanggal 22 Desember 1928 organisasi-organisasi perempuan mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta bertempat di Dalem Joyodipuran yang kini di kenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), kongres berikutnya delapan tahun kemudian yakni pada tahun 1935 diselenggarakan Kongres Perempuan II di Semarang. Dalam kongres ini dilontarkan gagasan bahwa Kongres Perempuan I dinyatakan sebagai HARI IBU dan di
Peran Domestik
a. Ibu Sebagai Istri
Seorang ibu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari satu keluarga, berstatus sebagai seorang pendamping dari suaminya. Sehingga mempunyai peran yang sangat urgen dalam kehidupan keluarga, namun terkadang atau bahkan sering terjadi kekerasan terhadapnya. Fakta memperlihatkan bahwa banyak ibu diperlakukan sebagai pelengkap penderita, di mana ia diperlakukan dan diposisikan pada second class dan bahkan dibiarkan tak berarti apa-apa di saat tertentu.
Hal tersebut menjadi penyebab utama perempuan selalu berada pada posisi yang lemah karena tidak dipandang sebagai mitra kerja oleh laki-laki. Apakah itu dalam lingkungan keluarga, lingkungan kerja dan lingkungan masyarakat. Keretakan suatu keluarga banyak disebabkan oleh hilangnya sifat saling menghargai antara keduanya (suami – istri). Harmonisasi keluarga hilang yang pada akhirnya akan terjadi keretakan keluarga atau sampai pada perceraian. Secara psikilogi akan berdampak pada kinerja laki-laki (suami) di lingkungan kerjanya begitu pula di lingkungan masyarakat akan mendapat cemohan.
Oleh karena itu potensi yang dimiliki masing-masing, tidak mampu menjadi sebuah kekuatan yang pada dasarnya bisa mengatasi krisis bangsa yang dimulai dari unit keluarga. Sadar atau tidak sadar, kesuksesan unit keluarga sangat signifikan untuk mengatasi krisis bangsa. Dampak langsung yang bisa kita lihat, perempuan dan laki-laki (istri-suami) dapat bekerja dengan tenang, nyaman dan damai di tempat kerja masing-masing karena saling ada kepercayaan/menjaga kepercayaan di antara keduanya. Titik kerawanan keluarga ada pada, jika seorang ibu memiliki peran di luar rumah, apakah itu karyawan atau atasan di kantor atau menjadi perempuan pengusaha (business woman),
pada kondisi ini akan timbul saling curiga yang ujung-ujungnya akan melemahkan semangat kerja di kantor dan tanggung jawab keluarga otomatis akan melemah pula, yang terjadi broken home. Anak-anak tidak diperhatikan lagi dan akan melakukan apa saja yang mereka kehendaki tanpa kontrol dari kedua orang tua.
Budaya patriarki tidak menciptakan demokratisasi keluarga, ada pihak yang sangat dominan melakukan penekanan terhadap pihak yang lain sehingga persoalan-persoalan yang muncul tidak terselesaikan secara demokratis. Tidak ada transparansi keluarga yang pada dasarnya hal tersebut tidak boleh muncul dalam satu keluarga. Malah tidak jarang ada keluarga saling menceritakan aib keluarga bukan pada tempatnya. Artinya bukan pada lembaga pembelaan (advokasi), atau konsultan (consultant) keluarga yang konsen pada penyelesain masalah keluarga. Jadi bukannya menyelesaikan tetapi semakin memperuncing masalah, “kerukunan dan kedamaian keluarga” semakin jauh atau tidak tercapai lagi.
b. Ibu Sebagai Orang Tua
Peran Ibu terhadap anak-anaknya di rumah sebagai pendidik dan pengayom pertama sebelum masuk pendidikan formal, yang sangat berarti dalam perkembangan dan pertumbuhan segala potensi anak. Seorang ibu yang mampu memberikan pendidikan awal (basic education) yang benar yaitu pendidikan akhlak (moral education) dan pendidikan pengembangan potensi pikir dan kreativitas sejak dalam lingkungan keluarganya, maka anak tersebut akan cepat menyesuaikan kondisi diluar lingkungan keluarganya dan mampu melakukan penajaman dan pencerahan pemikiran secara cepat. Terlebih seorang anak yang dibekali pendidikan akhlak sejak kecil oleh orang tuanya terutama ibu yang banyak waktu bersamanya, anak tersebut tidak cepat terpengaruh dan terjerumus dalam pergaulan bebas yang kontroversial dengan ajaran Islam.
Anak akan selalu teringat dengan pesan-pesan moral yang baik sepanjang hidupnya. Dekadensi moral yang dialami oleh seorang anak karena krisis moral, tidak mampu melakukam penyaringan budaya asing. Banyak anak yang kita temukan secara materi tercukupi tetapi gersang dengan kasih sayang dan pendidikan moral. Sehingga batin mereka kosong, dengan mudahnya akan terisi dengann ajakan pergaulan bebas, pecandu narkotika dan putus sekolah karena tak ada lagi gairah belajar.
Seorang anak akan bergerak sesuai dengan zamannya sehingga pendidikan akhlakul karimah sangat signifikan sebagai bekal melawan pengaruh negatif dari barat. Optimalisasi fungsi control orang tua juga sangat diharapkan sampai anak-anak mampu mambawa dirinya dan tidak larut dalam kondisi secanggih apapun.
Dengan demikian seorang ibu wajib memiliki kecukupan ilmu pengetahuan untuk dapat mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan dan serta suri tauladan yang baik di hadapan anak-anaknya. Perilaku dan kebijakan seorang ibu sangat tergantung pada tingkat pendidikan dan pengalamannya. Zaman dengan secepat mungkin dapat berubah sehingga menuntut seorang ibu yang tanggap dan cerdas dalam menuntun anak-anaknya, sehingga krisis moralitas bangsa dapat teratasi.
Peran publik
Ibu sebagai publik figur
Kita tidak bisa menghindar dari yang namanya masyarakat, seorang ibu merupakan bagian integral dari masyarakat (society), sangat penting baginya melakukan adaptasi terhadap keragaman kultur, etnis dan agama. Apapun alasannya, menjadi keharusan untuk dapat hidup rukun dan damai dalam sebuah masyarakat yang heterogen. Dalam menghadapai tantangan zaman yang sangat kompetitif diharapkan para ibu mampu bersatu menjalin tali persaudaraan yang kokoh agar tidak menjadi objek pembangunan yang sangat merugikan dirinya, menjadi pelengkap penderita pembangunan. Untuk menciptakan rana kehidupan yang kondusif, para ibu harus memiliki jiwa kepemimpinan dan ilmu pengetahuan (leadership and knowledge) yang mapan dan keteladanan yang patut diikuti.
Jiwa kepemimpinan (leadership) minimal untuk dirinya dan keluarganya sebagai unit terkecil dari lingkungan masyarakat. Begitu juga keteladanan minimal untuk anak-anaknya. Dan yang sangat kita harapkan ibu yang punya kapasitas dan kredibilitas yang diakui untuk tampil di masyarakat baik itu dilingkungan kerjanya maupun di lingkungan tempat tinggalnya atau menjadi tokoh masyarakat. Banyak deretan nama tokoh atau pahlawan wanita Indonesia, pejuang abad ke-19 antara lain: M Christina Tiahahu, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Rangkoyo Rasuna Said, R. A. Kartini, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, Nyai Ahmad Dahlan dll. Menjadi tanda tanya besar untuk era sekarang, maukah kaum ibu saat ini menyamai dan mewarisi semangat perjuangan beliau? Andaikan Ibu R.A. Kartini melihat kaum ibu saat ini maka beliau menangis atas kegagalan cita-cita mulia beliau, “kebebasan (emansipasi) perempuan malah di salah artikan”. Banyak kaum perempuan telah mengecap pendidikan sihingga mampu menjadi publik figur di luar rumahnya, apakah itu ditempat kerja atau masyarakat tetapi ada yang terlupakan yaitu anak-anak mereka sebagai regenerasi, tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan akhlakul karimah yang cukup, akhirnya anak tumbuh menjadi anak yang gersang batinnya, terjauh dari nilai-nilai agama. Kemudian ada perempuan yang telah mendapatkan pendidikan di sekolah sehingga mampu melakukan kreativitas seni, namun dengan mudahnya diajak mengikuti budaya yang bertentangan dengan nilai budaya ketimuran dan terlebih lagi norma-norma agama yang dianutnya yaitu Islam.
Pornograpi dan pornoaksi masih kita lihat di media, korbannya adalah para perempuan yaitu anak dari seorang ibu, lalu pergaulan bebas anak-anak remaja/usia sekolah dan bahkan sampai anak-anak putus sekolah juga banyak (akibat dari didikan yang salah), kita dapat lihat di pinggir-pinggir jalan menjadi pengamen. Apakah makna cita-cita ibu R.A. Kartini tidak tersampaikan di telingah para ibu sampai hari ini. Sungguh sangat-sangat “menyedihkan dan memilukan hati”, sebenarnya lewat siapakah makna cita-cita ibu yang tercinta R.A. Kartini agar sampai di telingah kaum ibu, apakah lewat keluarga di rumah? Atau lewat bangku sekolah? Atau pemukah agama? atau Pemerintah? Atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)?
Menurut hemat penulis, semua itu punya kewajiban menyampaikannya, karena betapa suci makna kebebasan perempuan memperoleh pendidikan di bangku sekolah, “tiada lain untuk memperbaiki citra diri, keluarga, masyarakat dan bangsa”. Indahnya harapan Ibu R.A.Kartini, “Kebebasan mendapat pendidikan”, akan tetapi sangat disayangkan nilai masyarakat terdidik ( educated society value) tidak menyeluruh di seantero
Penutup
Kebangkitan perempuan adalah harapan kebangkitan bangsa, yang sangat ditentukan oleh kesadaran para ibu terhadap perannya. Tanggung jawab seorang ibu hendaknya menjadi motivasi untuk “mengatasi krisis bangsa”. Dan tidak terkecuali kesuksesan ibu (perempuan) sangat ditentukan oleh peran seorang suami (laki-laki) yang menjadi mitra kerja yang solid dan sepadan dalam melangkah untuk mencapai tujuan keluarga.
Krisis bangsa akan teratasi dengan suksesnya pembinaan keluarga sebagai miniatur kehidupan bangsa (lingkungan kehidupan yang terkecil dari bangsa). Gagasan ini mudah-mudahan menjadi referensi untuk menciptakan keluarga yang damai dan sejahtera dalam mengatasi krisis bangsa.
No comments:
Post a Comment